Jumat, 01 Februari 2013


Kualitas Lingkungan Indonesia Makin Menurun

Mungkin kita sudah mengetahui apa telah terjadi terhadap lingkungan hidup Indonesia selama tahun 2006. Namun tak ada salahnya jika kita kembali menengok rekaman berbagai kejadian selama tahun itu di buku Status Lingkungan Hidup Indonesia diterbitkan KLH, agar kita bisa mengambil pelajaran di dalamnya. Berikut ulasan Marwan Azis* mengenai Buku SLHI 2006.

Buku SLHI 2006 setebal 285 halaman itu, selain mengupas status berbagai sumber daya alam Indonesia, buku ini mengetengahkan isu-isu lingkungan yang menonjol selama tahun 2006. Bahkan penyusun SLHI ini memberikan porsi tersendiri bagi isu lingkungan yang paling menonjol dalam bentuk buku suplemen secara terpisah setebal 65 halaman.

Peluncuran buku tersebut dihadiri oleh legislatif, departemen terkait, lembaga donor, akedemisi, LSM, lembaga donor, pers, dunia usaha, narasumber serta para penjabat KLH, Lauching buku itu dirangkaikan dengan diskusi panel diskusi panel bertema “Kesiapan Indonesia Dalam Merespon Masalah Perubahan Iklim” berlangsung di Hotel Sahid Jakarta pada tanggal 12 September 2007 lalu.

Menurut Deputi MENLH Bidang Pembinaan Sarana Teknis dan Peningkatan Kapasitas, Isa Karmisa Ardiputra, untuk membantu penyebaran informasi kondisi lingkungan di Indonesia, Pemerintah Indonesia melalui KLH dalam 5 tahun terakhir ini, telah menyusun dan menerbitkan buku Laporan Status Lingkungan Indonesia (SLHI) setiap tahun guna mendukung pengambilan keputusan yang memadai, bagi terciptanya pembangunan berkelanjutan di Indonesia.

Indonesia Dililit Bencana

Dalam suplemen SLHI terungkap bahwa selama tahun 2006 telah terjadi 195 bencana. Dari total kejadian tersebut, yang paling sering terjadi adalah banjir (22%) diikuti oleh tanah longsor dan kekeringan secara berurutan masing-masing sebesar 15% dan 14%.

Sepanjang tahun 2006, wilayah Indonesia diguncang gempa dengan magnitud lebih besar dari 4 SR sebanyak 912 kejadian. Dari jumlah kejadian tersebut, frekuensi tertinggi gempa terjadi di bulan Juli 2006, yakni sebanyak 181 kejadian diantaranya yang menimbulkan bencana tsunami di Pangandaran pada tanggal 7 Juli 2006. Sebelumnya di bulan Mei 2006 gempa dengan magnitud >4 SR sebanyak 88 kejadian diantaranya bencana gempa yang menimbulkan kerusakan di Yogyakarta dan sekitarnya pada tanggal 27 Mei. Ratusan orang meninggal dunia, ribuan orang luka-luka dan terpaksa mengungsi akibat dua gempa itu.

Sebagian gempa terjadi di laut yang berpeluang memicu terjadinya tsunami. Dari 109 kejadian tsunami yang di Indonesia, 90%-nya dibangkitkan oleh gempa bumi, 9% letusan gunung api, dan 1% terjadi karena tanah longsor. Tak heran Isu lingkungan menempati urutan ketiga menonjol di tahun 2006. Bahkan satu hari setelah peluncuran buku SLHI tepatnya hari pertama bulan Ramadhan, gempa bumi kembali melanda beberapa daerah yaitu Bengkulu, Padang, Palembang dan Papua.

Meski demikian persoalan kebakaran dan kabut asap yang terjadi pada tahun 2006, yang juga terjadi pada tahun-tahun sebelumnya diposisikan sebagai isu pertama sangat menonjol pada tahun 2006, karenanya besar dampak yang ditimbulkan, sehingga mendapatkan perhatian dari pemerintah RI dan sejumlah negara tetangga yang terkena kabut asap.

Kebakaran dan kabut asap di Pulau Kalimatan dan Sumatera pada bulan Agustus 2006 telah menuai protes dari negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia dan Brunei Darusalam karena asap telah menimbulkan pencemaran udara melintas masuk ke wilayah negara-negara tersebut.

Selain itu, isu lainya yang menonjol tahun 2006 adalah terjadinya semburan lumpur panas yang tidak terkendali di lokasi pengeboran minyak dan gas bumi PT Lapindo Brantas Inc. di Kabupaten Sidoarjo Provinsi Jawa Timur pada tanggal 29 Mei 2006 lalu.

Semburan lumpur panas masih berlangsung hingga kini. Luberan lumpur itu hingga saat ini telah menggenangi ratusan hektar kawasan pemukiman, pertanian, dan industri. Lebih dari 15.000 penduduk yang berasal dari beberapa desa di sekitar semburan terpaksa mengungsi karena rumah-rumah mereka tergenang dan tidak bisa lagi dihuni. Genangan lumpur juga telah menghentikan produksi sejumlah industri di wilayah genangan lumpur. Tak heran kalau kasus lumpur Sidoarjo ini menempati posisi kedua isu lingkungan yang paling menonjol tahun 2006.

Status Lingkungan 2006.

Laporan SLHI 2006 ini juga mengetengahkan berbagai hal antara lain, persoalan kelangkaan dan kesulitan air yang layak pakai belakangan ini makin menggejala di beberapa daerah di Indonesia. Sementara pola komsumsi air di Indonesia naik secara eksponensial.

Penurunan kualitas air lebih banyak disebabkan oleh rusaknya daerah tangkapan air, sedangkan penurunan kualitas air lebih banyak disebabkan oleh pencemaran berbagai limbah dari industri, rumah tangga dan kegiatan pertanian.

Berdasarkan hasil pemantuan yang dilakukan oleh 30 Badang Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Provinsi pada tahun 2006 terhadap 35 sungai di Indonesia masih menunjukkan status tercemar.

Mengenai kondisi udara dan atmosfer, berdasarkan hasil pematuan 20 kota besar di Indonesia menurur laporan SLHI menunjukkan hasil yang lebih baik pada tahun 2006 dibandingkan tahun sebelumnya. Hasil pemantuan memperlihatkan rata-rata kandungan timbal dalam bensin berjumlah 0,038 gram perliter pada tahun 2006. Sementara pada tahun 2005 besarnya adalah 0,133 gram perliter. Hal ini dipengaruhi oleh respon pertamina yang menghentikan injeksi timbal dalam kilang-kilangnya di seluruh Indonesia sejak Juli 2006.

Data World Resource Institute 2006 menyebutkan kondisi atmosfer Indonesia berada pada peringkat ke 14 di dunia berdasarkan nilai absolute emissions, setelah Meksiko, walaupun intensitas gas rumah kaca Indonesia menempati urutan ke 72.

Sementara isu kehutanan, dilaporkan, laju kerusakan hutan dan lahan meningkat tajam setelah tahun 1997 yang mencapai rata-rata 3,5 juta hektar per tahun. Bahkan diperkirakan, dalam jangka waktu 10-15 tahun (2015-2020) Indonesia “terpaksa”menghentikan menebang hutan alamnya.

Menyangkut masalah pesisir dan laut, SLHI melaporkan bahkan kondisi terumbu karang yang luasnya mencapai 85.000 km2, 40 persen diantaranya dalam keadaan rusak. Ironisnya Indonesia adalah eksporter terumbu karang terbesar di dunia. Seperti halnya terumbu karang, luasan hutan mangrove juga menurun dari 3,7 ha pada tahun 1993 menjadi 1,5 juta hektar pada tahun 2005. Tingginya laju eksploitasi ekosistem hutan dan daerah pesisir berdampak pada semakin langkanya berbagai spesies bahkan ada terancam punah.

Dari sisi energi, laporan SHI menunjukkan, sumber utama energi di Indonesia berasal dari energi fosil. Diperkirakan cadangan minyak bumi Indonesia akan habis dalam waktu 25 tahun. Karena itu, pemerintah harus menggali sumber daya lain seperti gas bumi dan batu bara, dengan potensi pemanfaatan masing-masing dalam waktu 62 tahun bagi gas bumi dan 146 tahun bagi batu bara.

Isu limbah padat, khususnya persoalan sampah di kawasan perkotaan, masih merupakan persoalan besar yang makin menggejala. SLHI menyorot rendahnya partisipasi masyarakat luas dalam upaya mengurangi timbulan sampah telah menimbulkan bencana longsor di TPA Leuwi Gajah, Cimahi pada tahun 2005, TPA Bantar Gebang, Bekasi pada tahun 2006 merenggut korban jiwa. Selain isu berkaitan sampah, kondisi bahan berbahaya dan berancun (B3) serta limbah B3, secara umum, terdapat gelaja peningkatan dan penggunaan limbah B3.

SLHI juga mengulas permasalahan pemukiman perkotaan yang kian tak terkendali akibat tingginya perpindahan penduduk ke daerah perkotaan yang pada tahun 2005 telah mencapai 48,3 persen, dan diperkirkan lebih banyak pada tahun 2010-2012 akibatnya beban lingkungan di kota semakin tinggi.

Format buku SLHI 2006 sedikit berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. SLHI 2006 di didahului dengan diskripsi tentang tanah air dan penduduk, yaitu kondisi fisio-geografis Indonesia dan uraian data pendudukan, sebagai salah satu faktor penting yang harus diperhatikan dalam pengelolaan lingkungan hidup.

Secara keseluruhan, buku SLHI 2006 menguraikan enam aspek sumber daya alam dan lingkungan yang terdiri atas, sumber daya air (Bab 4), udara dan atmosfer (Bab 5), lahan dan hutan (Bab 6), pesisir dan laut (Bab 7), keaneragaman hayati (Bab 8), dan Energi (Bab 9).

Disamping itu, buku SLHI 2006 juga menguraikan aspek-aspek lain yang mencakup isu tentang limbah pada domestik, B3 dan limbah B3 (Bab 10), lingkungan pemukiman (Bab XI) dan uraian tentang kebijakan pengelolaan lingkungan hidup (Bab 3) serta agenda pengelolaan lingkungan hidup mendatang (Bab 12). Selain itu, SLHI kali ini dilengkapi dengan ulasan tentang bencana alam dan bencana non alam dalam satu buku tersendiri dalam bentuk suplemen.

Menurut Menteri Negara Lingkungan Hidup Ir Rachmat Witoelar, laporan SLHI tersebut sangat berguna dalam melihat kecenderungan kualitas lingkungan hidup Indonesia pada tahun 2006 dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.”Selain itu, laporan ini merupakan sarana yang penting untuk mengemukakan informasi mengenai lingkungan hidup serta upaya yang dilakukan dalam mengatasi permasalahan lingkungan baik yang dilakukan pemerintah, dunia usaha maupun masyarakat.”tandasnya. ***
Penulis : *Tim Editor Buku SLHI 2006.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar